Menunggu dan Menanti
Aku benci melihat punggung seseorang, melihatnya
pergi, lalu menanti sendiri. Mengapa? Karena pada akhirnya dia pergi tanpa
kembali.
Entah berapa lama aku terdiam di sini. Menunggunya di
ujung lampu merah itu. Jangan tanya alasan mengapa aku menunggunya. Karena itu
masih jadi pertanyaan buatku. Kau tahu? Dia bahkan tak meminta aku menunggu.
Lalu mengapa aku masih menunggu? Semuanya berdimensi keentahan. Semuanya tak
beralasan. Hanya ingin menunggu. Itu saja. Tetapi sebenarnya ada alasan
mendasar di balik itu semua. Klasik. Tak perlu aku jelaskan.
Waktu berlalu. Aku berusaha melupakan semuanya.
Mencoba bertahan sekuat yang aku mampu. Untuk beberapa saat aku bisa
melupakannya. Tetapi lagi dan lagi memori itu terpanggil. Dengan sendirinya.
Bagaimana tidak? Semua yang aku lihat berhubungan denganmu. Itu membuatku
memiliki waktu yang sulit.
Aku kuat! Ya, kuat. Aku selalu mencoba untuk
tersenyum. Seolah semua baik-baik saja dan tak pernah terjadi apa-apa. Ah!
Bagaimanapun aku berusaha menyembunyikannya, akan selalu terlihat jelas. Aku
memang tak pandai dalam menyembunyikan perasaan.
Berdiri tegak di depanmu adalah sesuatu yang tak
mudah. Aku harus berperang melawan hatiku, yang seringkali menemui kekalahan.
Aku tersenyum, tetapi hati tak demikian. Aku kembali teringatkan dengan
semuanya. Aku marah. Mengapa memori itu tak hilang saja dari ingatanku?
Berulang kali aku meyakinkan hati, mungkin memori itu
akan hilang seiring waktu yang berlalu. Nanti. Beberapa hari kemudian. Tetapi apa?
Nihil. Ingatan itu tak kunjung dimakan waktu. Bahkan setelah beberapa minggu,
bulan, bahkan tahun.
Aku telah memutuskan untuk tetap berdiri di sini.
Pikirku, melangkah mundur pun takkan mungkin. Aku sudah terlalu jauh melangkah.
Akankah ini menjadi sia-sia ataukah bermakna? Itu semua tergantung kau
mengindahkannya atau tidak. Aku hanya perlu untuk tetap berdiri di sini. Tak
usah khawatirkan aku. Aku cukup baik dan ahli dalam hal tunggu-menunggu.
Tak kusangka, penantian ini menemui ujung. Dia
indahkan penantianku. Dia datang tak lama sejak aku memutuskan untuk tetap
berdiri di sini. Dia menghampiriku. Aku pun tak mampu menyembunyikan rona
bahagia di wajahku. Sesaat kami terdiam. Dia pun membuka percakapan kami
dengan: “Ini, Neng, pesanan donatnya. Semuanya dua belas ribu.”
Tukang donat kesukaanku datang juga di tempatku
berdiri. Akhirnya aku bisa makan donat setelah sekian lama. Ternyata aku salah
sangka. Maafkan aku yang mengira tukang donat itu takkan kembali lagi.
kren tukang donat ajah di kangenin :-D :-D
BalasHapus