Nggak Usah Dibaca!



Berpikirlah dua kali sebelum membaca tulisan ini. Karena tulisan ini sedikit mainstream. :P Inget, pikir dua kali. Risiko ditanggung sendiri lho yaa. =P

         Pernah suatu ketika, sepupuku yang masih duduk di kelas satu SD mengucapkan kata ‘pacaran’. Aku pun penasaran, definisi pacaran menurutnya seperti apa? Langsung kutanyakan langsung padanya.
          “Rey, pacaran teh apa sih?”
          Dia terdiam sejenak. Mungkin berpikir.
          “Pernikahan.” jawabnya polos.
        Subhaanallaah, anak kelas satu SD saja tahu bahwa pacaran itu hanya dilakukan setelah pernikahan. Itu anak kelas satu SD lho! Kamu kelas berapa? Umur berapa? Definisi pacaran menurutmu seperti apa? Aku yakin, kamu lebih pintar dan lebih bijak dari anak kelas satu SD. :-D
***
          Miris sekali ketika melihat anak-anak zaman sekarang sudah menganggap pacaran adalah suatu hal yang ‘biasa’. Pacaran dilakukan oleh kebanyakan remaja, tak terkecuali anak pesantren. Pacaran versi anak pesantren (mungkin) agak sedikit berbeda. Bahasanya pakai ‘akhi’ dan ‘ukhti’, saling membangunkan shalat malam, bilang “I Love You”nya pakai bahasa Arab (Uhibbuka/i lillaah), mengahalalkan boncengan dengan alibi ‘ada hijab iman’ dan ‘ada hijab tas’, de el el. Hohoho :-|
          Tahukah? Dulu aku pernah melakukan salah satu atau salah dua atau salah tiga (hehehe) dari yang aku sebutkan di atas. Tetapi alhamdulillaah, bi-idznillaah, aku tersadarkan setelah bergabung dengan organisasi da’wah kampus. Itulah untungnya bergabung dan berkumpul dengan orang-orang shalih.
*Izinkan aku mengucap terima kasih yang tak terhingga kepada teman seperjuangan, seonbae-soenbaeku, para sensei, dan murabbiyahku nan jauh sana, yang telah menyadarkanku sehingga kini, aku (in-syaAllaah) insaf.
          Flashback sedikit ke belakang gak apa-apa kali ya. Bukan ingin membuka ‘aib sendiri atau cari sensasi. Hanya ingin berbagi. Siapa tahu bisa menginspirasi. Dan semoga ada yang tersadari. :-)
          Dahulu kala, aku menganggap boncengan dengan non-mahram adalah hal yang lumrah. Selama tak bersentuhan dan duduk berjauhan, boncengan sah-sah saja. Tetapi setelah melalui proses pemikiran yang panjang, *cieelah*, mindsetku menjadi berbuah. Eh, berubah maksudnya. :-D
          Pernah dengar ‘strum merah jambu’? Nah, ketika kita boncengan (apalagi dengan orang yang disuka atau dikagumi), akan ada getaran tersendiri. Perasaan deg-degan, senang tak karuan, de es be, membuat jantung berdenyut lebih cepat dari biasanya. Itulah ‘strum merah jambu’. *ngarang :-D
          Pasti tahu banget sama ayat ini: “wa laa taqrabuu az-zinaa” (dan janganlah kalian mendekati zina). Mungkin pernah juga dengar qaidah ushul fiqh: “al-ashlu fiiy an-nahyi lil-huruumi” (asal terhadap larangan itu adalah haram). Sudah jelas, kan? Ingat, zina tak sebatas yang biasa kita definisikan. Zina itu juga bisa zina mata, zina hati, zina pikiran.
          Nah, lho, kok bisa sih zina hati dan pikiran? Iya lah bisa! Ketika hati dan pikiran didominasi oleh selain Allah dan ketika kita terus menerus memikirkan si ‘dia’ sampai melalaikan kita dari mengingat Allah, bisa jadi itu zina hati dan perasaan. (bisa jadi lho yaa)
          Terus gimana masalah boncengan tadi? Apakah termasuk mendekati zina atau bahkan zina? Aku tak akan menjawabnya. Silakan renungkan sendiri. Pakai hati nurani ya. Ikuti kata hati juga. Resapi dan hayati. ;-)
          Terus masalah sms-an saling ngajak ibadah itu gimana? Nah, harus diwaspadai juga. Karena bisa jadi niat kita berbelok. Mungkin memang kita jadi getol banget ibadahnya. Tapi tanya tuh hati kita. Apakah niat kita sudah lurus? Boleh jadi kita beribadah karena dia, bukan karena Dia. Nah, kalau udah gitu tuh biasanya kalau gak ada si ‘dia’, kita jadi males buat ibadah. Astaghfirullaah.
          Bahas “uhibbuka/i lillaah” ah. Artinya apa sih? Artinya itu, “aku mencintaimu karena Allah”. Banyak sekali orang-orang terutama santri yang memakai bahasa itu. Dan kebanyakan kata-kata itu dilontarkan kepada dia yang belum halal. Menurut hematku sih, kata-kata itu bukan kata-kata sembarangan dan hanya boleh dikatakan kepada ‘dia’ yang berhak. Dia yang berhak? Siapa? Iyaaa, dia. =D Dia yang tertulis di Lauhil Mahfuzh untukmu. Kalau namanya masih misteri, sebaiknya jangan dulu, deh!

Mencintai karena Allah? Mencintai karena Allah itu seperti apa sih? Mungkin, mencintai karena ketaatannya pada Allah. Nah, kalau yang cinta-cintaan dengan yang bukan mahramnya, apa itu bisa disebut taat pada Allah? So, 'uhibbuka/i lillaah' itu sepertinya kurang pas kalau dipakai oleh orang-orang yang terjebak cinta semu.

Berbicara tentang janji Allah, kita sama-sama tahu, bahwa janji Allah itu pasti. Salah satu janji Allah tertuang dalam Q.S. An-Nuur ayat 26. Dan itu merupakan salah satu ayat favorit gue.
Firman-Nya:
"Perempuan-perempuan­ yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)..."

Nah, itu dia janji Allah. Percaya kan, bahwa Allah takkan mengingkari janji? Pastinya iya dong. So, tak usah mendahului ketetapan-Nya. Cukup perbaiki diri, sibukkan diri dengan hal-hal positif, dan dekatkan diri pada-Nya. Simple kan sebenarnya? Kalau kita ingin mendapatkan yang baik, maka kita harus menjadi baik dulu. Tak perlu mencari, hanya perlu menjadi.

Biarlah taqdir Allah yang bicara, ok.

Maaf jika tulisan ini menyinggung berbagai pihak. Tak ada niat untuk menyinggung. Tak ada niat untuk menyindir. Hanya saling mengingatkan. Saya menulis catatan ini bukan karena saya merasa baik, juga bukan karena saya tidak pernah melakukannya. Hanya saja, saya mencari teman untuk sama-sama memperbaiki diri. Karena dengan banyaknya teman yang ingin memperbaiki diri, maka kita akan termotivasi satu sama lain. Dan tentunya akan makin semangat untuk berubah menjadi lebih baik. Ada yang ingin menjadi temanku untuk sama-sama memperbaiki diri?

Komentar

Posting Komentar

Write your comment here ;)

Postingan populer dari blog ini

Menunggu dan Menanti

Rasa

Tanya Qalbu